Sebuah pengalaman yang tidak ternilai, mewakafkan diri 12
purnama untuk menjadi Konsultan Relawan Pendidikan. Jika ditanyakan, mengapa
mau jadi relawan? Dari sekian banyak alasan, satu yang pasti turut di-iya-kan,
“menambah nilai diri”, sebab menyadari akan ada kompetensi yang bertumbuh dan
bertambah, akan ada kebaikan yang dibagikan, bertambahnya manfaat diri bagi
sesama. Hal ini selaras dengan sabda Rasulullah saw.
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi
manusia (yang lain).” [HR.Ahmad,
ath-Thabrani, ad-Daruqutni.]
Menantang diri keluar dari zona nyaman, dipilih sebagai
langkah awalku, seorang guru yang telah mengabdikan diri selama 3 tahun pada
Sekolah Dasar Islam Terpadu ternama di kota Binjai, kota kecil di Sumatera
Utara, untuk menggenapi keinginan meluaskan nilai diri, mengambangkan kompetensi,
belajar lebih, upaya lebih, serta menempuh tangga-tangga meralisasikan mimpi.
Dua bulan pertama dilalui di kota hujan, Bogor, Pembinaan
sebelum konsultan dikirimkan ke wilayah penempatan. Ini sangat membantu, Sebagai
bekalan pengetahuan dan arahan pelaksana peran Konsultan Relawan Sekolah
Literasi Indonesia. Dari pembinaan bertambahlah kompetensi diri, aktivitas
pelatihan digelar setiap hari, berlatih menjadi trainer, coche, dan mentor,
sebagai bekalan konsultan di penempatan. Mengaplikasikan ilmu dikenyataan tidak
semudah ketika microtriner pada proses pembinaan, ada beban moral yang
diemban, nama baik diri dan lembaga dipertaruhkan, maka persiapan untuk jiwa
dan kompetensi keilmuan dimantapkan.
Dari penempatan aku belajar mengaplikasikan keilmuan,
menjadi trainer pada kegiatan pelatihan, pertama kali menjadi pemateri
di tengah kepala sekolah dan guru-guru, tentu merasa menegangkan dengan khwatir
yang berlebihan. Perlahan hitungan bulan berganti, menjadi pusat perhatian,
berdiri di depan para kepala sekolah dan guru, telah menjadi hal yang biasa. Kepercayaan
diri tumbuh dan berkembang, tidak hanya di hadapan warga sekolah, pada beberapa
kesempatan berhadapan dengan puluhan bahkan ratusan wali murid adalah sebuah
pengalaman berbeda, menyesuaikan penggunaan bahasa yang mudah dipahami
masyarakat umumnya, juga tantangan tersendiri bagi Kawan SLI, yang kemudian menyuntikkan
spirit untuk mendalami karakter dan budaya warga setempat.
Semarang, Jawa Tengah, dikenal dengan ikon Kota Lumpia,
mayoritas penduduk bersuku Jawa, maka inilah bahasa yang digunakan masyarakat pada
kesehariannya. Penempatan di kota ini menambahkan kekayaan budaya baru bagiku,
budaya sopan santun khususnya. Aku baru tau, bahwa di tanah Jawa, penggunaan
Bahasa Jawa itu ada tingkatan tutur bahasanya, dari penggunaan bahasa
keseharian ada yang halus, dan tidak halus atau dinamakan tingkatan Ngoko,
Madyo, dan Krama. Setiap kosa bahasa jawa memiliki variasi bentuk morfologis
yang menunjukkan tingkat rasa hormat atau kesopanan, hal ini bertalian dengan
kasta kebangsawanan atau kekeratonannya.
Suatu ketika suasana pertemuan dengan kepala madrasah dan
guru-guru yang semula hangat mendadak berubah direspon dingin, hanya sebab aku
salah menggunakan bahasa, “sampean” dalam pertemuan formal tersebut,
yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan “Kamu atau Anda”, dirasa terdengar
terlalu kasar, sementara keseharian para guru menggunakan bahasa “njenengan”
untuk menyebutkan orang kedua yang diajak berdialog. Berbulan-bulan telah
menyatu dengan budaya setempat membuatku sedikit-banyak memahami kosa kata
Bahasa Jawa, namun sejak kejadian lalu, aku belajar untuk berhati-hati, dan
memilih menjawab dengan bahasa indonesia saja jika diajak berbicara.
Berperan sebagai Kawan SLI tanpa kusadari juga telah
mewujudkan salah satu dari mimpi-mimpiku. “Menjadi gurunya para guru” tulisku
satu ketika bertahun-tahun silam pada lembaran kertas yang menghimpun
cita-citaku. Tak pernah terbayangkan beginilah cara Allah merealisasikan mimpiku,
meskipun sekarang belum berezeki untuk lanjut pendidikan S2, tapi nyatanya
Allah mewujudkannya lebih dahulu sekalipun tanpa titel master. Ketika
berprofesi menjadi guru adalah cita yang terbangun sejak SMA, lalu aku memimpikan
agar kebermanfaatanku dapat dirasakan lebih, maka menjadi gurunya para guru
adalah sebuah cita mulia.
Mengelola Sekolah Sendiri, juga bagian dari cita jangka
panjang yang pernah kutuliskan, sehingga menjadi Kawan SLI bagiku merupakan
tangga-tangga untuk mewujudkan mimpi. Sebab telah dibekali dengan ilmu
pengelolaan, pengukuran, dan peningkatan performa sekolah. Dari sana aku
belajar bagaiamana cara meng-choching dan me-mentoring para
kepala madrasah untuk mengabil solusi menejemen terbaik bagi sekolah mereka.
Dari pengalaman penempatan ini aku belajar tantang realitas mengelola manusia
dan sistem pendidikan, ini bekal penting untukku. Enam Madrasah Ibtidaiyah
Marjinal di tengah Kota Semarang memberikan banyak pembelajaran, dengan corak
gaya kepemimpinan, dan pengelolaan madrasah yang berbeda-beda, dengan kelebihan
dan kekurangannya.
Menjadi Kawan SLI membuatku terlatih untuk mampu melihat
lebih luas arah masa depan sebuah sekolah. Sebab Kawan SLI telah dibekali
dengan gambaran sistem ideal sebuah sekolah model. Bahwa sekolah dikatakan
berkualitas baik apabila terpenuhinya ketiga lingkup metode uswah, yaitu
kepemimpinan sekolah, sistem pembelajaran, dan budaya sekolah. Semua erat
kaitannya dengan kualitas sumber daya manusianya. Gambaran sejauh apa hasil
yang akan dituai sebuah sekolah, dapat diprediksi dari komitmen dan kompetensi kepala
madrasah dalam mengelola madrasah serta guru-gurunya, disusul kemudian dengan terpenuhinya
sarana prasarana yang memadai.
Hebatnya lagi, menyandang status sebagai Konsultan Relawan
Sekolah Literasi Indonesia memudahkan intervensi kepada pihak sekolah dan
masyarakat, karena dibawahi oleh lembaga resmi Dompet Dhuafa Pendidikan. Ini
memudahkan jalannya pendampingan sekolah, memudahkan menyusupkan nilai-nilai
kebaikan, kekhasan literasi, budaya sekolah islami, sebab saran dan
pertimbangan Kawan SLI tentu diperhitungkan baik oleh pihak sekolah,
masyarakat, maupun di tingkat pengawas sekolah.
Kawan SLI yang umumnya berusia jauh lebih muda dari para
kepala madrasah dan guru-guru yang didampinginya, oleh pihak sekolah sering
diberikan perlakukan istimewa pada berbagai kegiatan madrasah, disejajarkan
dengan pengawas madrasah. Dari sini pembelajaran baru dipetik, di kota Lumpia
ini, kesantunan dan pengagungan terahadap tamu diutamakan.
Mengabdikan diri 12 Purnama pada wilayah asing, melatih kepekaan
dan mengembangkan kemampuan beradaptasi, sebab tidak ada tempat bergantung
selain Allah dan diri sendiri. Di sini aku belajar jeli melihat dan menangkap
kesempatan, meluaskan jaringan, mencari berbagai komunitas yang sejalan dengan
program.
Banyak hal yang dapat dilakukan selain menjalankan tugas sebagai Kawan SLI di sekolahan. Salah satunya mengembangkan komptensi dalam menulis. Seperti dua tulisan yang telah dimuat oleh Radar Semarang, surat kabar lokal, begitupun bebarapa artikel yang telah dimuat di media elektronik internal, makmalpendidikan.net ataupun jateng.dompetdhuafa.org. Selain itu juga memfasilitasi proyek menulis buku antologi para kepala madrasah dan guru-guru sekolah dampingan SLI Semarang. Bergabung dengan komunitas tertentu, juga telah menimbulkan rasa bertambahnya nilai manfaat diri. Mencoba berbagi, dengan terlibat pada aktivitas remaja setempat, mengisi kegiatan anak kampus UNNES, terlibat bersama komunitas pengajian ibu-ibu hingga menggerakkan kegitan fun literacy untuk anak-anak di TPQ terdekat.
Menjalankan program ini, artinya mengemban amanah besar,
berbulan-bulan dihidupi oleh uang umat, menjaga kepercayaan umat dan janji pada
Sang Maha Melihat. Pada pengabdian ini bekerja sebagai kayawan Allah, suka
relawan, untuk mewujudkan sebuah visi menebar kebaikan, meningkatkan performa
sekolah marginal. Maka berada jauh dari keluarga kian melatih pribadi
kerelawanan. Semoga tiap detik yang terlewati terhitung sebagai upaya menggapai
keridhoan-Nya.
Hikmah lain dari peran Kawan SLI di penempatan, ialah terjalinnya
silaturahim, dan meluasnya jaringan. Kepala
madrasah dan guru-guru dari enam sekolah dampingan di Kota Semarang sejumlah 64
orang, dengan karakter yang berbeda-beda menambahkan syukur bahwa dicipta
sedemikian rupa agar saling mengenal. Beberapa guru dan kepala madrasah
memperlakukan Kawan SLI selayaknya keluarga sendiri, alhamdulillah mendapatkan
keluarga baru lagi disini. Meluasnya jaringan kebaikan pribadi, baik dari
lingkungan pendidikan, masyarakat tempat tinggal, pergaulan dengan berbagai komunitas,
hingga menjalin silaturahmi kepada pengelola media cetak, koran lokal, kesemua adalah
bonus dari menebarkan kebermanfaatan sebagai Konsultan Relawan SLI.
Untuk 12 Purnama pengabdian, begitu banyak yang telah didapatkan sebagai Kawan SLI. Syukur yang tertambat, mewakili begitu banyak nikmat yang telah Allah anugerahkan.
“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [Qs. Lukman: 27]
Kontributor : Lutfia (KAWAN SLI)